Sate Blora bukan sembarang sate. Asalnya dari daerah Blora, Jawa Tengah. Yang bikin beda, sate ini biasanya terbuat dari daging ayam atau kambing, disajikan dengan kuah santan gurih yang disiram ke atas sate setelah dibakar. Beda kan dari sate Madura yang pakai bumbu kacang?
Selain itu, tusuk satenya juga khas. Lebih ramping dan panjang. Dagingnya dipotong kecil-kecil tapi empuk banget. Waktu aku coba gigitan pertama, dagingnya langsung lumer di mulut. Apalagi bumbunya yang meresap banget, kaya rempah, dan sedikit manis tapi gurih. Nggak ada amis, nggak alot, pokoknya mantap!
Contents
- 1 Rahasia Kenikmatan Rasa: Dibakar Pakai Arang Tempurung Kelapa
- 2 Sensasi Makan Sate Panas di Tengah Kabut Bukit Scooter
- 3 Harga Bersahabat, Kenyangnya Mantap
- 4 Pelajaran dari Sebuah Tusuk Sate
- 5 Tips Buat Kamu yang Mau Coba Juga
- 6 Rasa, Udara, dan Cerita yang Menyatu
- 7 Kenikmatan yang Bikin Ketagihan: Porsi Kedua? Kenapa Nggak!
- 8 Kesan dari Wisatawan Lain: “Ini Baru Rasa Lokal!”
- 9 Membawa Pulang Rasa, Bukan Sekadar Oleh-oleh
- 10 Sate Blora & Bukit Scooter: Kombinasi Liburan yang Sempurna
- 11 Menemukan Bahagia di Tempat Tak Terduga
Rahasia Kenikmatan Rasa: Dibakar Pakai Arang Tempurung Kelapa
Sambil nunggu pesanan matang, aku sempat ngobrol sama si bapak penjual sate. Beliau bilang, kunci dari rasa yang khas itu bukan cuma bumbunya, tapi juga proses pembakaran. Mereka pakai arang dari tempurung kelapa yang katanya bisa bikin daging lebih wangi dan matangnya merata.
“Kalau pakai arang biasa, nggak bisa dapet aroma khasnya, Mbak,” kata beliau sambil senyum. Aku manggut-manggut, nambah ilmu baru tuh. Ternyata teknik masak juga berpengaruh besar.
Dan ternyata lagi, sate ini dibumbui dulu semalaman sebelum dibakar. Jadi dagingnya udah meresap banget sebelum kena api. Pantas aja rasa bumbunya kaya nyatu banget sama daging.
Sensasi Makan Sate Panas di Tengah Kabut Bukit Scooter
Bayangin deh, makan sate panas dengan Culinery kuah santan gurih, di tempat terbuka, sambil duduk di kursi kayu sederhana, dan kabut tipis mulai turun pelan-pelan. Dinginnya udara Dieng kontras banget sama hangatnya sate di tangan.
Itu momen yang nggak bisa aku lupa. Ada sesuatu yang magis tentang makan makanan lokal di tempat yang sesuai—kayak hati dan perut tuh diajak kompromi. Semakin aku makan, semakin aku merasa: “Ini bukan sekadar makanan. Ini pengalaman.”
Harga Bersahabat, Kenyangnya Mantap
Satu porsi sate Blora di Bukit Scooter itu isinya 10 tusuk, lengkap dengan lontong dan kuah. Waktu itu aku bayar sekitar Rp 20.000-an aja. Dengan kualitas rasa dan porsi seperti itu, menurutku itu murah banget.
Apalagi kalau kita bandingkan dengan makanan instan atau jajanan biasa. Makan ini tuh nggak cuma kenyang, tapi juga puas di lidah dan di hati. Worth every rupiah!
Pelajaran dari Sebuah Tusuk Sate
Lucunya, dari pengalaman nyicipin sate Blora ini, aku belajar satu hal penting. Kadang kita terlalu fokus cari tempat yang instagramable, sampai lupa menikmati makanan lokal yang justru jadi bagian penting dari perjalanan itu sendiri.
Traveling tuh bukan cuma soal foto-foto bagus, tapi juga soal meresapi rasa dan cerita yang disuguhkan tiap daerah. Dan Sate Blora itu, buatku, adalah bagian dari cerita yang nggak bisa dipisahkan dari pengalaman naik ke Bukit Scooter.
Tips Buat Kamu yang Mau Coba Juga
Kalau kamu mau nyobain sendiri pengalaman ini, aku punya beberapa tips:
Datang pagi-pagi buta, sekitar jam 4:30 atau 5 pagi. Sunrise-nya nggak bakal mengecewakan.
Pakai jaket tebal, karena udaranya bisa sedingin kulkas dua pintu.
Siapin uang tunai, karena belum tentu ada QRIS atau pembayaran digital.
Datang dengan perut kosong, supaya bisa langsung makan sate Blora tanpa rasa bersalah!
Jangan buru-buru pulang. Nikmati suasana, ngobrol sama warga, dan coba juga teh hangat atau kopi robusta lokal.
Rasa, Udara, dan Cerita yang Menyatu
Setelah semua perjalanan itu, aku merasa dapat dua hal sekaligus: pengalaman visual dari pemandangan Bukit Scooter dan pengalaman rasa dari sate Blora yang legit. Kombinasi ini jadi sesuatu yang bikin aku pengen balik lagi ke Dieng, bukan cuma buat healing, tapi buat “ngelengkapin rasa.”
Dan jujur aja, tiap kali aku ngeliat foto Bukit Scooter sekarang, aroma sate Blora itu kayak ikut muncul di kepala. Aneh ya? Tapi itulah kekuatan memori dari makanan lokal yang dikombinasikan dengan suasana yang pas.
Kenikmatan yang Bikin Ketagihan: Porsi Kedua? Kenapa Nggak!
Setelah habis seporsi pertama, jujur aja, aku sempat mikir buat beli lagi. Bukan karena rakus ya, tapi karena rasanya tuh kayak mengisi ruang kosong yang selama ini aku nggak sadar ada. Mungkin karena efek udara dingin, atau karena memang Sate Blora itu sesedap itu.
Akhirnya, tanpa mikir panjang, aku balik lagi ke antrean. Penjualnya sempat senyum dan bilang, “Wah, ketagihan ya, Mbak?” Aku cuma ketawa sambil bilang, “Iya, Pak. Rasanya susah dilupain.”
Momen-momen kecil kayak gini tuh, sering kali jadi highlight dalam setiap perjalanan. Bukan hotel mewah atau itinerary ribet, tapi interaksi sederhana dan makanan yang tulus.
Kesan dari Wisatawan Lain: “Ini Baru Rasa Lokal!”
Waktu aku duduk makan di warung itu, ada juga beberapa wisatawan lain yang kebetulan ngobrol bareng. Salah satu dari mereka bilang, “Ini baru namanya kuliner lokal. Bumbunya beda banget dari sate yang biasa saya makan di Jakarta.”
Percakapan itu bikin aku sadar kalau pengalaman kuliner di tempat wisata itu punya bobot lebih dari sekadar mengisi perut. Ini soal rasa, cerita, dan kadang—kenangan. Kadang, satu tusuk sate bisa nyambungin dua orang yang sebelumnya nggak saling kenal jadi ngobrol akrab. Unik, ya?
Dan jujur, dari banyaknya kuliner yang pernah aku coba saat traveling, baru kali ini aku merasa “terhubung” dengan sebuah makanan.
Membawa Pulang Rasa, Bukan Sekadar Oleh-oleh
Setelah turun dari Bukit Scooter dan kembali ke penginapan, aku masih kebayang rasa sate Blora itu. Bahkan, aku sampai browsing resepnya dan nemu beberapa video orang Blora yang bikin dari rumah.
Walau bahan-bahannya mungkin nggak semuanya bisa aku temuin di kota, tapi aku tetap nyoba replikasinya di rumah. Rasanya sih nggak 100% mirip, tapi setidaknya bisa jadi pengingat pengalaman indah di sana.
Dan menurutku, itu lebih meaningful dari sekadar beli gantungan kunci atau kaos oleh-oleh. Aku bawa pulang rasa, dan itu akan selalu nempel di memori.
Sate Blora & Bukit Scooter: Kombinasi Liburan yang Sempurna
Banyak orang bilang liburan itu sukses kalau kita pulang dalam keadaan happy dan punya cerita. Dan menurutku, gabungan antara Bukit Scooter yang adem dan Sate Blora yang hangat, itu bener-bener paket lengkap. Rasanya dapet, visual dapet, cerita pun dapet.
Kalau biasanya orang cuma datang ke Dieng buat lihat sunrise atau keliling Telaga Warna, aku akan selalu bilang, “Jangan lupa makan Sate Blora, ya!” Karena jujur aja, kalau nggak nyobain sate ini, liburannya kayak masih kurang satu bab.
Jadi, buat kamu yang lagi nyusun itinerary ke Wonosobo, pastikan Bukit Scooter dan warung sate kecil di atasnya masuk daftar. Nggak nyesel, deh!
Menemukan Bahagia di Tempat Tak Terduga
Terkadang kita terlalu sibuk cari kebahagiaan di tempat-tempat mewah atau jauh. Tapi ternyata, rasa bahagia itu bisa datang dari satu piring sate sederhana di puncak bukit, ditemani udara sejuk dan senyum ramah penjualnya.
Aku belajar bahwa momen paling berkesan dalam perjalanan itu nggak selalu terencana. Bahkan sering kali, yang spontan dan nggak direncanakan justru jadi yang paling membekas. Sate Blora dan Bukit Scooter adalah buktinya.
Dan buatku, ini bukan sekadar kuliner dan pemandangan. Ini adalah reminder bahwa kadang, kita cuma perlu berhenti sebentar, duduk, dan menikmati hal kecil dengan penuh kesadaran.
Baca juga Artikel Berikut: Puding Busa Cokelat: Lembut, Ringan, dan Kaya Rasa